Gereja Katolik Santo Aloysius Gonzaga Mojosongo - Surakarta
  1. Perluasan Wilayah

Tanggal 28 Januari 2000, masing-masing lingkungan di Wilayah Santo Aloysius Perumnas Mojosongo mulai mendapat nama santo dan santa pelindungnya. Pada saat itu, wilayah terdiri dari lima unit lingkungan. Adapun perubahan nama-nama lingkungan beserta santo dan santa pelindungnya adalah sebagai berikut:

No.Nama LamaNama Baru
1Lingkungan I DempoLingkungan Dominikus Dempo
2Lingkungan II MalabarLingkungan Agustinus Malabar
3Lingkungan III RinjaniLingkungan Paulus Rinjani
4Lingkungan IV LompobatangLingkungan Leonardus Lompobatang
5Lingkungan V SibelaLingkungan Thomas Aquinas Sibela

Pada tahun 2003, melalui pendataan umat, diketahui bahwa Wilayah Santo Aloysius Perumnas Mojosongo memiliki jumlah umat sebanyak 1348 orang dengan 391 kepala keluarga. Seiring dengan pengembangan kewilayahan di Perumahan Samirukun yang terletak di Kelurahan Plesungan, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, maka teritori Lingkungan Thomas Aquinas Sibela diperluas menjadi juga mencakup Perumahan Samirukun. Barulah pada tahun 2007, Perumahan Samirukun dimekarkan menjadi sebuah lingkungan mandiri dengan nama Lingkungan Maria Tak Bernoda Samirukun.

Tahun 2013 merupakan salah satu tahun penting dalam sejarah perjalanan (saat itu) Wilayah Perumnas Mojosongo, karena Mgr. Johannes Pujasumarta mengirimkan Rm. Yohanes Kristiyanta dari Paroki Santa Theresia Liseux, Boro, untuk menjadi pastor pendamping di Wilayah Santo Aloysius Perumnas Mojosongo. Kegiatan perayaan Ekaristi hari Minggu pun ditingkatkan menjadi setiap hari Sabtu pertama, ketiga, dan keempat, sedangkan perayaan Ekaristi harian diadakan setiap hari Selasa, Kamis, Jumat, serta pada Jumat Pertama dengan adorasi. Pengembangan reksa pastoral paroki yang sesuai dengan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang pun mulai dirintis melalui tata kelola pastoral yang terdiri dari penggembalaan, harta benda, dan administrasi. Terhitung mulai tanggal 23 Mei 2014, Pastor Paroki S.P. Maria Regina Purbowardayan, melalui surat keputusannya, memberikan kepercayaan kepada Wilayah Santo Aloysius Perumnas Mojosongo untuk mengelola sebagian harta benda dan keuangan wilayah yang meliputi pengelolaan gedung gereja, aula dan pastoran, serta kolekte umum dan persembahan umat. Pada bulan Juni 2014, wilayah juga mendapat kesempatan untuk belajar memenuhi kewajiban-kewajiban yang disetorkan kepada keuskupan, meliputi setoran Dana Solidaritas Paroki (DSP), Kolekte Pelayan Gereja (KPG), dan kolekte-kolekte khusus lainnya. Tanggal 4 Desember 2014, Wilayah Santo Aloysius Perumnas Mojosongo mendapat kesempatan untuk menerima kunjungan atau visitasi dari Tim Supervisi Keuskupan Agung Semarang. Adapun kunjungan ini dalam rangka upaya pemekaran Paroki S.P. Maria Regina Purbowardayan. Dalam visitasi tersebut, ditegaskan bahwa untuk menjadi sebuah paroki bukanlah tujuan, namun merupakan sarana menjadi Gereja sejati yang keberadaannya kokoh dan lestari dalam perannya mewartakan Kerajaan Allah dan demi keselamatan jiwa-jiwa, selaras dengan visi Keuskupan Agung Semarang. Proses untuk menjadi gereja semakin tertata dan dikembangkan, serta masukan-masukan yang diterima menjadi tuntunan dalam pengembangan reksa pastoral paroki yang sejalan dengan tata kelola pastoral keuskupan, serta pemastian teritorial pemekaran paroki.

Mengingat bahwa seiring berjalannya waktu, jumlah lingkungan di wilayah telah mencapai 13 unit, maka diputuskan untuk membagi wilayah ke dalam 2 wilayah, yaitu Wilayah Santa Catharina dan Wilayah Santa Veronika. Pembagian atau pemekaran ini bertujuan agar semakin banyak ruang dan kesempatan bagi umat untuk berperan dan mengoptimalkan pengembangan reksa pastoral bagi umat. Masing-masing dari kedua wilayah tersebut terdiri dari 6 dan 7 lingkungan dengan perinciannya sebagai berikut:

No.Lingkungan LamaLingkungan Hasil Pemekaran
1Lingkungan Dominikus DempoLingkungan Petrus Tahta Dempo
2Lingkungan Matius Dempo
3Lingkungan Yohanes Rasul Dempo
4Lingkungan Agustinus MalabarLingkungan Agustinus Malabar
5Lingkungan Monika Malabar
6Lingkungan Paulus RinjaniLingkungan Paulus Rinjani
7Lingkungan Ambrosius Rinjani
8Lingkungan Leonardus LompobatangLingkungan Fransiskus Xaverius Lompobatang
9Lingkungan Fransiskus Asisi Lompobatang
10Lingkungan Markus Clolo
11Lingkungan Thomas Aquinas SibelaLingkungan Thomas Aquinas Sibela-Pelangi
12Lingkungan Raymundus Sibela
13Lingkungan Maria Tak Bernoda SamirukunLingkungan Maria Tak Bernoda Plesungan

Batas teritori paroki pemekaran yang direncanakan adalah sepanjang jalan dari barat sampai ke timur, yaitu Jalan Ki Mangunsarkoro, Jalan Sumpah Pemuda, dan Jalan Lingkar atau Ring Road Utara Surakarta hingga jembatan Bengawan Solo. Umat Katolik yang berdomisili di sebelah utara jalan tersebut sampai dengan Sungai Cemara di Kecamatan Gondangrejo menjadi bagian dari calon paroki pemekaran. Di sebelah timur, calon paroki ini berbatasan dengan Bengawan Solo, sedangkan batas sebelah barat adalah batas kota Surakarta. Menanggapi rancangan tersebut, maka pada tanggal 8 dan 15 Oktober 2015, dewan paroki mengadakan sosialisasi dan menjalin komunikasi dengan wilayah-wilayah yang akan masuk dalam teritori calon Paroki Santo Aloysius Mojosongo. Adapun wilayah-wilayah yang direncanakan masuk dalam calon paroki ini meliputi Wilayah Santo Aloysius Mojosongo, Wilayah Santo Laurensius Joglo, Wilayah Santo Yohanes Rasul Kadipiro, dan satu lingkungan di Wilayah Christophorus Mojosongo. Berdasarkan hasil sosialisasi dan komunikasi yang dilaksanakan, pada dasarnya bahwa umat-umat di wilayah tersebut menanggapi dengan positif, serta berharap agar pemekaran ini bisa menghasilkan pengembangan pelayanan pastoral yang lebih optimal. Dengan demikian, maka menurut data umat tahun 2011, jumlah kepala keluarga yang akan menjadi bagian dari paroki baru ini sebanyak 1266 buah dan total umat sejumlah 4106 orang.

Sebagai tindak lanjut dari proses tersebut, maka pada tanggal 5 Maret 2016, diajukanlah surat kepada Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang (pada saat itu, tahta keuskupan masih vacant setelah Mgr. Johannes Pujasumarta meninggal dunia pada tanggal 10 November 2015), Rm. F.X. Sukendar Wignyosumarto (saat buku ini ditulis, menjabat sebagai pastor Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran, Yogyakarta), yang memohon status gerejawi pembentukan Paroki Santo Aloysius Mojosongo sebagai hasil pemekaran dari Paroki S.P. Maria Regina Purbowardayan. Surat tersebut diterima dan dibalas oleh administrator diosesan keuskupan dengan surat keputusan bernomor 0328/B/I/b-136/16 tentang Pendirian Paroki Administratif Santo Aloysius Mojosongo. Dengan demikian, maka lahirlah secara resmi sebuah paroki administratif bernama Santo Aloysius Mojosongo, melengkapi lima paroki lainnya di Kota Surakarta yang telah berdiri terlebih dahulu.

Lingkungan-lingkungan di wilayah Paroki Administratif Santo Aloysius Mojosongo pada tahun 2017

No.Nama WilayahNama Lingkungan
1Wilayah Catharina Perumnas MojosongoLingkungan Fransiskus Xaverius Lompobatang
2Lingkungan Thomas Aquinas Sibela-Pelangi
3Lingkungan Maria Tak Bernoda Plesungan
4Lingkungan Fransiskus Asisi Lompobatang
5Lingkungan Raymundus Sibela
6Lingkungan Markus Clolo
7Wilayah Veronika Perumnas MojosongoLingkungan Petrus Tahta Dempo
8Lingkungan Agustinus Malabar
9Lingkungan Ambrosius Rinjani
10Lingkungan Paulus Rinjani
11Lingkungan Matius Dempo
12Lingkungan Yohanes Rasul Dempo
13Lingkungan Monika Malabar
14Lingkungan Richardus Genengan
15Wilayah Laurensius SekipLingkungan Polikarpus Wonorejo
16Lingkungan Ireneus Gebang
17Lingkungan Bernardus Sukorejo
18Lingkungan Yohanes Don Bosco Sekip
19Lingkungan Dionisius Jetak
20Lingkungan Bernardus Wonorejo
21Lingkungan Aloysius Sugihwaras
22Wilayah Yohanes Rasul KadipiroLingkungan Ignatius Loyola Sukomulyo
23Lingkungan Martinus I Banyuanyar
24Lingkungan Paulus Banyuanyar
25Lingkungan Philipus Neri Krembyongan
26Lingkungan Stanislaus Pamugaran
27Lingkungan Petrus Banyuanyar
28Lingkungan Yusuf Banyuanyar
29Lingkungan Agatha Jetis

Orang mungkin akan bertanya-tanya: apa latar belakang wilayah baru yang kini dimasukkan ke dalam Paroki Administratif Santo Aloysius Mojosongo? Untuk mengulasnya, mari kita simak bersama-sama sejarah Wilayah Laurensius Sekip dan Yohanes Rasul Kadipiro di bawah ini.

  1. Wilayah Laurensius Sekip dan Yohanes Rasul Kadipiro
    1. Sejarah awal

Pada tahun 1949, wilayah Kadipiro masih tergabung dalam Paroki Santo Antonius Purbayan. Tempat itu berupa tanah kosong yang amat luas, sawah, tegalan tidak terurus, hutan bambu, dan pemakaman Bonoloyo. Tidak banyak orang yang tinggal di sana, karena faktor keengganan. Hanya ada satu-dua umat Katolik di antara sekian banyak penduduk yang tinggal di sana, serta beberapa simpatisan Katolik, salah satunya adalah Hendrianus Soetardja Sastradihardja.

Sekitar tahun 1957-1958, Stanislaus Suwata Dirdjapangarsa beserta keluarganya pindah ke Kadipiro. Salah satu dari ketujuh anaknya bernama Florentinus Siswanta. Ia adalah salah satu anggota MKI (Muda Katolik Indonesia) dan misdinar Paroki Santo Antonius Purbayan. Sekitar tahun 1959, MKI digerakkan oleh Romo Justinus Darmajoewana (kemudian menjadi kardinal pertama Indonesia, red.) untuk membersihkan sebuah tanah kosong di luar kota tempat dimana banyak bertumpuk besi tua sisa perang. Tempat itu sering dijadikan pelarian para residivis dari kejaran polisi. Di sana, MKI mengumpulkan koran-koran, botol-botol, dan besi-besi bekas untuk biaya pembangunan. Di tempat itulah, pada tahun 1961, secara resmi berdiri Gereja Santa Perawan Maria Regina Purbawardayan. Kadipiro termasuk salah satu wilayah Paroki Purbowardayan. Umatnya sangat sedikit, belum ada sistem lingkungan, apalagi pembagian kewilayahan menjadi RT dan RW. Sistem yang dipakai adalah sistem blok.

Tahun 1961, Romo Danoewidjaja dan Bapak Bratasoetjitra untuk pertama kalinya memberikan pelajaran agama di Kadipiro. Tercatat ada 10 orang katekumen yang dibaptis pada tahun 1964, setelah melalui ujian lisan dan tertulis. Pada tahun 1964, Ibu Slamet dan Wilfrida Sukarti Dwidjapangarsa merintis pergerakan Wanita Katolik di Kadipiro, dengan Bu Dwidjapangarsa sebagai ketuanya. Keluarga Dwijapangarsa mengolah sebuah sawah yang hasilnya disetorkan ke gereja, serta tanahnya diolah menjadi batu bata untuk keperluan pembangunan gereja. Tanah ini dibeli atas prakarsa Romo Justinus Darmajoewana, kemudian diatasnamakan pada tiga orang keluarga, yaitu keluarga Slamet, Dwidjapangarsa, dan Puja.

Jumlah umat Katolik di Kadipiro amat sedikit, sehingga kerap kali mereka bergabung dengan umat di wilayah Nusukan dan Gilingan. Memang karena keadaan perekonomian yang tidak begitu bergairah, orang lebih memilih bekerja daripada berdoa. Umat mengikuti misa paling banyak sebulan sekali, itupun bila mereka sempat ke gereja. Krisis ekonomi diperparah dengan kelangkaan pangan, hingga pemerintah pada saat itu sempat mengimpor bulgur dari Amerika, yang seharusnya menjadi pakan ternak, menjadi makanan masyarakat saat itu. Para pelajar mendapatkan fasilitas sarapan di sekolah setiap pagi, karena mereka berangkat ke sekolah tanpa sempat makan pagi, dan hanya thiwul yang bisa dimakan oleh masyarakat. Puncaknya, antara tanggal 30 September-1 Oktober 1965, meletuslah peristiwa G30S atau Gestok. Partai Komunis Indonesia dinyatakan sebagai dalang dibalik peristiwa berdarah ini, disusul dengan pembersihan besar-besaran terhadap apapun yang terkait dan berbau PKI. Pemerintah pasca Orde Lama mewajibkan seluruh rakyat Indonesia untuk memeluk agama yang diakui oleh pemerintah, jika tidak ingin mengalami kesulitan dalam administrasi negara, pemutusan hubungan kerja, bahkan penahanan tanpa alasan yang jelas.

Peraturan baru dari pemerintah ini sukses membuat masyarakat Surakarta berbondong-bondong memeluk agama. Tidak sedikit pula yang minta pelajaran baptis, termasuk warga Kadipiro yang telah lama tinggal di sana, maupun yang hanya indekos. Pada saat itu, ada dua orang katekis di wilayah Kadipiro, yaitu D. Atmaka dan Bratasoetjitra. Beberapa dari mereka yang minta dibaptis adalah mantan anggota PKI, seperti Aris Munandar, yang dibaptis oleh Romo Windyapranata, dan Y. Sunarka, pamong wilayah Kadipiro pada dekade 1970-an. Sunarka dipecat dari pekerjaannya sebagai anggota RC atau Rehabilitatiecentrum atau RC (sekarang YPAC). Setelah pindah ke Kadipiro, ia aktif dalam kegiatan menggereja hingga ditunjuk sebagai pamong wilayah.

Pasca Konsili Vatikan Ke II, perayaan ekaristi perlahan-lahan mulai dilakukan dalam bahasa vernakular atau bahasa setempat. Misa dengan bahasa Indonesia dan Jawa sangat membantu pertumbuhan iman umat, apalagi umat mampu membaca dan memahami isi Kitab Suci dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa. Perkembangan umat Katolik di wilayah Kadipiro mulai menampakkan wujudnya sedikit demi sedikit. Tahun 1967, keluarga Bonifasius Sudjana pindah dari Nusukan ke Sekip. Tahun 1973, Hendrianus Soetardja bersama Siswajoewana (guru SMP Kanisius 1 dan Kepala Sekolah SMP Kanisius 2 Ngapeman) dilantik menjadi prodiakon. Mereka melayani tidak saja wilayah Kadipiro, namun juga wilayah Jethak, yang meskipun berada di luar kota Surakarta, tetapi karena tidak ada yang mengurus keberadaan mereka, secara praktik ikut dalam kegiatan di Kadipiro. Tahun 1975, umat mulai diminta untuk memberikan persembahan atau kolekte bulanan. Prodiakon bertugas berkeliling dari rumah ke rumah umat untuk mengambilnya. Pada saat itu, pergerakan umat masih sebatas akar rumput saja. MKI termasuk motor penggerak umat yang cukup energik, selain dari Legio Mariæ yang kebanyakan diikuti oleh umat-umat yang lebih senior. Kegiatan yang awalnya dikoordinasi langsung oleh pamong wilayah, kini dikoordinasi oleh masing-masing lingkungan mulai tahun 1980.

Pada tahun 1976, keluarga katekis D. Atmaka pindah dari Nusukan ke Kadipiro, tepatnya di Lingkungan Gambirsari. Kehadirannya melengkapi lima keluarga yang telah lebih dulu tinggal di sana, salah satunya yaitu keluarga Yulita Sarsi Mulya Sudiyana (pindahan dari Bibis). Di Krembyongan sudah ada tiga keluarga Katolik, yaitu keluarga Singawardaja, Dasiran alias Widyapurnama (guru SMP Pangudi Luhur Bintang Laut), dan Florianus Soetarna.

Tahun 1976, istilah “kring” diganti menjadi “lingkungan”, namun karena Kring Kadipiro dianggap terlalu luas secara wilayah, ia dinaikkan statusnya menjadi Wilayah Kadipiro. Atas usulan Atmaka, dengan pertimbangan bahwa semakin banyak umat Katolik yang berdatangan dan tinggal di sana atau hanya indekos saja, dan pelayanan umat yang lebih intensif, daerah kerjanya dibagi per tahun 1980 menjadi Kadipiro Barat dan Kadipiro Timur, dengan rel kereta api Surakarta-Gundih sebagai batasnya. Rata-rata para pendatang ini ada yang bekerja sebagai guru, pekerja pabrik, karyawan kantor, dan lain-lain. Wilayah Kadipiro Barat dipimpin oleh Sugih Pambudi, sedangkan Kadipiro Timur dipimpin oleh D. Atmaka sendiri.

Tahun 1993, Wilayah Kadipiro dibagi menjadi tujuh lingkungan, yaitu Bonoloyo, Gambirsari, Sekip, Krembyongan, Banyuagung, dan Banyuanyar. Wilayah Kadipiro Timur mendapat lingkungan Bonoloyo, Gambirsari, dan Sekip, sedangkan Wilayah Kadipiro Barat mendapat lingkungan Banyuanyar, Krembyongan, Banyuagung, dan Pamugaran. Pada saat itu, lingkungan Sekip adalah satu-satunya lingkungan yang memiliki teritori baik di sebelah timur maupun barat rel kereta api. Secara teritorial pula, lingkungan Banyuanyar sebenarnya lebih dekat dengan Paroki Santo Paulus Kleca dibandingkan dengan Paroki Purbawardayan. Seringkali anggota WK Banyuanyar diajak untuk ikut masuk wilayah Kadipiro oleh anggota WK Kadipiro. Para pengurus lingkungan Banyuanyar sempat menghendaki agar lingkungannya masuk ke dalam naungan Paroki Kleca dengan alasan jarak transportasi dari rumah ke gereja, namun setelah diadakan musyawarah, umat tetap menghendaki untuk tetap berada di bawah naungan Paroki Purbawardayan. Almarhum Romo Ignatius Djanawasana juga memberikan pendapat, yang intinya agar Lingkungan Banyuanyar tetap ikut dalam naungan Paroki Purbawardayan, namun tetap membebaskan umatnya untuk ikut misa di paroki mana saja yang mereka rasa lebih dekat. Selain itu, Paroki Kleca menyatakan jumlah umatnya sudah terlalu banyak dan daerahnya terlampau luas.

Seiring dengan berjalannya waktu, pemekaran lingkungan dirasa perlu karena umat juga semakin banyak. Perumahan Wonorejo dimekarkan menjadi sebuah lingkungan tersendiri pada tahun 2004. Hotel Kusuma Sahid membeli tanah dari beberapa umat di wilayah Paroki Santo Antonius Purbayan yang mencakup sekitar + 10 keluarga. Mereka pindah ke daerah Lemahabang, Lingkungan Sekip. Karena semakin lama umat di daerah itu juga semakin berkembang, maka pada tahun 2006, Lingkungan Sekip dimekarkan menjadi dua, yaitu Sekip dan Sukomulyo. Alhasil, pada tahun itu, Wilayah Yohanes Kadipiro memiliki sembilan lingkungan.

Mengenai tanah yang dibeli atas prakarsa Romo Justinus Darmajoewana sudah diterangkan di bagian atas. Rencananya, di atas tanah tersebut akan didirikan gereja yang dikemudian hari nanti akan menjadi paroki baru. Akan tetapi, pemerintah menjual tanah yang tadinya akan dijadikan lapangan olah raga kepada Universitas Slamet Rijadi. Sebagai gantinya, di atas lahan persawahan itu akan diubah menjadi lapangan olah raga. Setelah melakukan pertemuan untuk membahas nasib tanah yang lumayan luas itu, akhirnya Yayasan Kanisius, melalui kepalanya, Pater Smith, SJ, membangun sekolah SD dan SMA Kanisius. Pembangunannya sendiri dilakukan dengan ketergesa-gesaan. Bangunan SD bertempat di sebelah timur dan juga dipakai sebagai TK, sedangkan bangunan SMA berada di sebelah barat.

Tahun 1985, tanah yang diatasnamakan tiga orang tersebut (keluarga Slamet, Dwidjapangarsa, dan Puja), dikembalikan kepada Gereja atas nama PGPM hingga saat ini. Karena peminatnya yang semakin lama semakin berkurang, sedangkan banyak sekolah negeri yang relatif lebih murah dari segi biaya, maka SD dan SMA tersebut terpaksa ditutup. Sempat ada ide dari Romo Ignatius Djanawasana dan Bapak Ngadino pada tahun 2002 untuk menetapkan PPUKS di bekas SD Kanisius, namun ide tersebut dibatalkan, dan sebagai gantinya didirikanlah Panti Wredha di tempat itu sampai sekarang. Panti Wredha tersebut diresmikan oleh Mgr. Ignatius Suharyo, didampingi H. Slamet Suryanto, walikota Surakarta. Panti wredha ini dikelola oleh Yayasan Dharma Bhakti Kasih, yang berada langsung di bawah Kevikepan Surakarta. Mereka yang berkarya di sana adalah para suster BKK, ibu-ibu Katolik, salah satunya adalah selibater bernama Regina, para pensiunan yang masih sanggup bekerja, dan ibu-ibu yang rela meluangkan waktunya untuk pelayanan sosial di panti wredha.

Bekas gedung SMA Kanisius kini ditempati oleh STP IPI. Semenjak tutupnya TK, SD, dan SMA Kanisius, kompleks tersebut terbengkalai. Kusen-kusen dan kayu-kayunya dibawa oleh Yayasan Kanisius. Di tahun 2002, IPI yang semula berada di Sorogenen, dipindahkan ke Kadipiro dan menempati bekas gedung SMA Kanisius. IPI merupakan singkatan dari Institut Pastoral Indonesia, yang pusatnya berada di Malang. Sekolah ini memiliki nama lengkap STP (Sekolah Tinggi Pastoral) IPI Filial Malang cabang Surakarta. Mahasiswa yang bersekolah di sini kebanyakan berasal dari luar daerah, sudah bekerja dan atau ingin meneruskan pendidikan. Jadwal kuliah adalah pada hari Sabtu, pukul 14.00-19.00 WIB, dan hari Minggu, pukul 10.00-18.00 WIB. Lama pembelajaran dalam satu semester adalah tujuh bulan, dengan satu bulan untuk menambah kekurangan 10 menit tiap tatap muka. Formasi dosen yang mengajar di sana ada 6 orang dari Surakarta, 2 orang dari Malang, dan karyawan 4 orang.

 Menurut data yang ada, pada tahun 2002 terdapat 27 mahasiswa STP IPI yang diwisuda. Mereka adalah sarjana pertama lulusan STP IPI semenjak sekolah tersebut dipindahkan ke Kadipiro. Antara tahun 2003 hingga 2004, data mahasiswa yang berkuliah di sana tidak tersimpan dengan baik, sehingga sulit diketahui jumlahnya. Tahun 2005, terdapat mahasiswa D2 sejumlah 11 orang, dan S1 sejumlah 30 orang. Tahun 2006, terdapat mahasiswa D2 sejumlah 11 orang, dan S1 sejumlah 27 orang. Tahun 2007, terdapat mahasiswa D2 sejumlah 5 orang, dan S1 sejumlah 36 orang. Tahun 2008 mencatat jumlah mahasiswa S1 sejumlah 26 orang tanpa satupun mahasiswa D2. Tahun 2009, program D2 mencatatkan kehadirannya kembali dengan jumlah mahasiswa sebanyak 25 orang, dan mahasiswa S1 sejumlah 16 orang. Tercatat pada tahun 2010, STP IPI Filial Malang di Surakarta membuka lima kelas, dengan kepala program studinya A.P. Budiono H.D. Ia berada di bawah Keuskupan Agung Semarang, melalui Kevikepan Surakarta.

Gedung STP IPI Filial Malang di Surakarta kerap dipakai untuk kegiatan-kegiatan lain, salah satunya dari Kevikepan Surakarta yaitu pertemuan para imam se-kevikepan. Aulanya juga sering menjadi langganan kegiatan pula, seperti misa wilayah Kadipiro, latihan koor, ibadat rutin, pertemuan APP, pertemuan adven, pertemuan Lingkungan Stanislaus Pamugaran, pendidikan para katekumen, calon penerima sakramen krisma, seminar pendalaman teologi untuk mahasiswa STP IPI dengan narasumber para dosen Fakultas Teologi Wedhabakti Yogyakarta, pertemuan Legio Mariæ, bahkan sebagai TPS untuk salah satu RW di sana.

Salah satu motor pertumbuhan dan perkembangan umat di Wilayah Kadipiro adalah para muda-mudi Katolik atau Mudika. Kegiatan yang dilakukan adalah latihan koor bersama, menjadi petugas parkir pada saat misa, kunjungan, ziarah, rekoleksi, dan lain sebagainya. Beberapa orang mantan anggota Mudika mengemukakan pengalamannya semasa masih berkegiatan bersama dalam Mudika. M.M. Sri Sukarni dan Sutarno, aktivis Mudika tahun 1970an, mengatakan bahwa dulu Mudika sangat aktif. Kegiatan yang mereka lakukan tidak hanya diikuti oleh kaum muda Katolik saja, tetapi juga kaum muda non-Katolik yang tertarik akan cara hidup kaum muda Katolik yang rukun, rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Salah seorang mantan aktivis Mudika bernama Bu Vero, mengonfirmasi keterangan ini. Kaum muda non-Katolik ini ada yang menemukan tambatan hatinya di Mudika, sehingga memberanikan diri mengikuti pelajaran baptis menjadi Katolik.

Penuturan serupa disampaikan oleh Fransiskus Supanggih dan Kristina Triastuti, aktivis Mudika tahun 1980an. Menurut pengalaman mereka, semangat Mudika saat itu boleh dikatakan berkobar-kobar. Seluruh kegiatan diemban oleh mereka. Banyak kegiatan yang dilakukan oleh Mudika, seperti mengumpulkan botol-botol bekas dan kertas-kertas bekas untuk dijual sebagai sumber dana kas Mudika, latihan koor bersama, dan lain-lain. Namun demikian, mulai tahun 1995, kegiatan Mudika berangsur-angsur bercampur antara kaum muda dengan generasi senior. Semangat Mudika pun mulai surut, salah satunya karena faktor regenerasi kepengurusan Mudika. Tidak ada figur pemimpin yang mampu menyatukan dan mengkoordinasi para kaum muda Katolik. Bila ada yang ditawari menjadi pengurus, mereka selalu berusaha mengelak dengan dalih kurang pengalaman.

L. Sunaryo alias Gambir, pegawai STP dan aktivis Mudika 1985-1987, mengamini apa yang dikatakan oleh para aktivis Mudika di atas. Ia mengingat, pergaulan Mudika saat itu tidak membeda-bedakan satu sama lain. Mudika jugalah sarana pertemuan antarkaum muda. Saat para pendatang baru di Kadipiro mulai bermunculan pada dekade 1980an, beberapa dari mereka beragama Katolik. Mudika menanggapi kehadiran mereka dengan kunjungan ke rumah-rumah, menyapa, dan mengajak kaum muda Katolik yang baru saja datang itu untuk mengikuti kegiatan bersama. Jumlah Mudika tahun 1980an mencapai lebih dari 200 orang. Setiap kegiatan Mudika diikuti dengan semangat kebersamaan dan kerukunan. Walaupun masih sedikit yang memiliki kendaraan bermotor, Mudika tetap melakukan kegiatan bersama kemanapun dengan berjalan kaki, bahkan berziarah ke Gua-gua Maria dengan menaiki truk.

Menurut data Paroki Santa Perawan Maria Regina Purbawardayan, pada tahun 2009, berdiam sekitar 3650 orang umat Katolik di Wilayah Kadipiro. Kehadiran mereka tidak lepas dari peran para katekis awam mewartakan Kabar Gembira kepada warga Kadipiro, serta kedatangan umat Katolik dari luar daerah untuk tinggal di sana. Iman umat dipupuk dengan berbagai macam kegiatan. Ibadat lingkungan sekali dalam seminggu adalah salah satu kebiasaan umat Katolik Kadipiro sejak awal, dilakukan entah pada hari Rabu, Kamis, Jumat malam, atau pada hari lain menurut kebiasaan setempat. Legio Mariæ juga telah hadir sejak tahun 1966, digagas oleh Bapak Wisnu. Kelompok ini berkumpul bersama dan berdoa rosario tiap hari Kamis, dan mengadakan ziarah ke beberapa Gua Maria. Kelompok Wanita Katolik (WK) juga berkembang dengan baik. Tercatat pada tahun 2011, ada sekitar 50 orang ibu-ibu anggota WK di Lingkungan Banyuanyar. Kegiatan yang dilakukan adalah pertemuan rutin, kunjungan-kunjungan, dan lain sebagainya. WK Lingkungan Banyuanyar bisa dikatakan mandiri karena secara teritorial, mereka terpisah dari Kelurahan Kadipiro dan berada jauh dari Paroki Purbowardayan. Untuk keanggotaan, ibu-ibu anggota WK termasuk anggota Paguyuban Ibu-ibu Paroki, namun anggota Paguyuban Ibu-ibu Paroki belum tentu menjadi anggota WK.

Paguyuban Doa Sabtu Imam pertama kali dilaksanakan tahun 1980 di rumah Sugih Pambudi, Lingkungan Banyuagung. Kegiatan ini diikuti sekitar 40 orang ibu-ibu lingkungan, dan sistemnya berkeliling dari rumah ke rumah. Per tahun 2011, paguyuban ini dipimpin oleh Y. Sri Rahayu atau Ibu Atmoko. Kelompok lain di Lingkungan Gambirsari mencoba mendalami Injil dengan cara lain. Berbekal buku Injil Papat karangan G.P. Sindhunata, SJ, mereka berkumpul setiap malam Selasa Kliwon selama dua jam untuk melagukan macapat dari buku tersebut. Kelompok ini dipimpin oleh F.X. Soewito.

Persekutuan Doa Sancta Rosa Mystica memberikan pelayanan doa bagi sesama yang membutuhkan. Per tahun 2011, ada sekitar 30 orang bergabung dalam persekutuan doa ini. Awalnya, pelayanan doa dilakukan dari rumah ke rumah, namun mulai tahun 2009, mereka secara rutin berkumpul di sebuah rumah doa di Lingkungan Sekip yang akrab dikenal dengan nama Kapel Maria. Rumah doa ini didirikan oleh Marcelinus Santoso Bangun Wibowo, pemilik perusahaan jasa transportasi bus Santoso. Menurut rencana awal, rumah doa akan didirikan di sebelah utara rumah Bapak Sudjana, namun karena terjadi penolakan dari warga yang terpengaruh oleh hasutan PPI (Pemuda Pembela Islam) dan MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an), pemerintah setempat meminta pembangunan yang sudah mencapai tahap kerangka bangunan dihentikan. Material yang terlanjur dibeli pun dikembalikan, dan sebagai gantinya, rumah doa berdiri di dalam kompleks garasi bus Santoso. Rumah doa Kapel Maria diberkati pada tanggal 9 September 2008 oleh Pater Robertus Wotong, CMF, dan kerap digunakan untuk berbagai macam kegiatan umat, khususnya umat Lingkungan Santo Petrus Sekip.

Perayaan ekaristi diadakan setiap hari Sabtu terakhir per bulan di aula STP IPI Filial Malang di Surakarta, yang terletak di Lingkungan Pamugaran, pada pukul 18.00 WIB.